“Perjuanganku lebih
mudah karena melawan penjajah sedangkan perjuanganmu lebih sulit karena melawan
bangsamu sendiri.” (Bung Karno)
Melawan bangsa sendiri, itulah
perjuangan kita. Kata-kata tersebut tidak bisa diartikan secara sempit layaknya
anak baru belajar mengeja tiap bagian dari kata. Interpretasinya adalah
perjuangan melawan segala bentuk keterpurukan negeri ini. Perlu digaris bawahi
bahwa yang harus dilawan adalah segala bentuk bukan satu bentuk. Segala sesuatu
apa pun itu jenisnnya, apa pun sebabnya, apa pun akibatnya, apa pun faktornya,
ketika itu berakibat pada kemunduran bangsa dan keterpurukan negeri, maka harus
dilawan.
Ada sebuah bentuk pangandaian klasik
yang mungkin berkali-kali disampaikan dalam banyak kesempatan. Pengandaian yang
mungkin bosan mendengar atau membacanya. Yah, bosan untuk mendengar atau
membacanya bukan untuk memahaminya. Jadi, yang harus dilakukan saat ini adalah
memahami bukan mendengar atau membaca. Pengandaian ini tentang lidi. Sebuah
lidi tentu saja akan mudah patah jika kita menghendakinya untuk patah. Mudah
juga dibuang karena tidak ada fungsinya. Tapi ketika satu demi satu lidi
disatukan menjadi kesatuan lidi yang banyak, akan lain ceritanya. Lidi yang
disatukan tidak akan mudah dipatahkan. Kesatuan lidi juga lebih punya banyak
fungsi, lebih bermanfaat, dan bernilai guna.
Jika diaplikasikan dalam kehidupan
riil, pengandaian tersebut dapat diartikan bahwa apabila kita bersatu, kita
tidak mudah dipatahkan dan dapat bersama-sama memberi kontribusi. Itulah yang
diharapkan dari adanya persatuan dan kesatuan terutama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Lalu dimana posisi kita? Apa peran
kita? Apa yang sudah dan harus kita lakukan? Bisakah kita turut serta memberi
andil dalam harapan adanya persatuan dan kesatuan bangsa dewasa ini? Andil yang
bagaimana?
Sebagai seseorang yang diberi
“gelar” mahasiswa, harusnya mudah untuk kita memposisikan diri. Proklamator
negeri ini juga pernah mengatakan, “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan ku
ubah dunia.” Tentu saja bukan pemuda biasa yang dimaksudkan. Pemuda yang punya
semangat, motivasi, intelektualitas, sensitifitas terhadap lingkungan, dan
progresifitas dalam segala hal yang mampu mengubah dunia. Itulah sebagaimana
mestinya mahasiswa. Sebagai individu yang diberi kesempatan lebih untuk mencari
ilmu, mengembangkan pola pikir, bersosialisasi dengan lingkungan akademisi, dan
berbagai fasilitas pendukung potensi diri, menjadi pemuda pencetus perubahan
adalah harapan yang realistis.
Masih sulit juga menentukan
bagaimana harusnya peran kita? untuk apa julukan iron stock, agent of change,
dan social control disematkan kepada kita? pantaskah? Berkaca pada berbagai
fenomena yang terkait dengan mahasiswa, julukan-julukan yang demikian perlulah
dikaji ulang. Social control yang anarkis, agent of change ke arah mana?, dan
iron stock yang tanpa moral dan kualitas. Peran apa yang diharapkan dari
mahasiswa model begini? Apa tidak lebih baik mereka diam saja dan tidak berbuat
ulah?
Tidak. Mahasiswa tidak boleh diam
saja. Mahasiswa adalah bagian penting dari negeri ini. Calon-calon penerus
estafet kepemimpinan negeri. Kaum intelek yang ditunggu pemikiran dan
kebijakan-kebijakannya untuk mengatasi kisruh problematika negeri yang seolah
tanpa akhir, masalah-masalah yang berkesinambungan satu dengan yang lainnya,
serta dinamika masyarakat yang juga tidak usai mengukir polemik.
Jelas sudah, amanah negeri yang
menunggu dengan segera peran dan kontribusi kita amat banyak. Memperbaiki
kualitas terutama moral menjadi hal yang signifikan. Tidak terkecuali amanah
terkait peran kita dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
dewasa ini.
Ada banyak tantangan mengingat
dewasa ini berbagai permasalahan bangsa menjadi lebih kompleks. Peran yang
harus dijalankan juga tidak mudah, menyatukan bangsa Indonesia dimana ada
berjuta individu dengan karakter masing-masing. Dan mahasiswa, dengan
pergerakan-pergerakannya selama ini, turut mengambil bagian dalam usaha
tersebut. Melalui banyak kegiatan yang sudah terlaksana maupun yang masih dalam
tahap perencanaan, mahasiswa mencoba membuktikan eksistensi diri sebagai bagian
krusial dari bangsa.
Kegiatan-kegiatan bertema
nasionalisme sangat tepat jika yang menjadi fokus utama adalah persatuan dan
kesatuan bangsa. Tema sosial, kemanusiaan, dan lingkungan juga mampu
menciptakan adanya solidaritas yang berujung pada toleransi untuk menekan ego
masing-masing demi kebaikan bersama serta penyatuan pikiran untuk tujuan yang
sama.
Selama ini, mahasiswa dikenal
sebagai penyalur lidah rakyat. Sosok yang senantiasa pro pada rakyat dan
independen. Tidak ada kepentingan terselubung dibalik setiap aktivitasnya
kecuali benar-benar memperjuangkan kebenaran. Transparan dan keterbukaan
menjadi pola pikir. Tidak ada yang boleh ditutupi, yang benar harus tetap
benar. Tidak boleh ada pembelokan fakta, tidak boleh ada modus demi kepentingan
oknum tertentu. Komitmen dan integritas satu sama lain amat dijunjung tinggi.
Kritis dalam menanggapi fenomena masyarakat dan negara. Mampukah kita
mempertahankan citra yang demikian? Bukan citra yang harus dipertahankan. Bukan
image yang harus ditonjolkan. Anggap saja, citra hanya sebagai dorongan untuk
terus melakukan yang terbaik dan menerapkan semua konsep diri sebagai mahasiswa
yang semestinya.
Perpecahan dalam berbagai aspek
dimasyarakat, semakin mengkhawatirkan. Isu-isu terkait suku, agama, dan ras
kian meluas. Keberagaman terkadang membawa berbagai keunikan masing-masing yang
menarik tapi masalah yang timbul juga tidak sepele. Perang antar suku di
daerah-daerah seolah menjadi budaya baru di negeri ini. Sudahkah rakyat
Indonesia melupakan kebhinnekaannya yang tunggal ika? Atau lupa dengan sila ke
3 dasar negara?
Inilah kesempatan kita wahai
mahasiswa. Wahai kaum-kaum intelek, inilah yang harus kita pikirkan. Wahai sunrise generation, bangun dan segeralah
sadar. Kesempatan untuk berperan dan berkontribusi menunggu kita. Kesempatan
untuk menyampaikan gagasan, ide, dan pemikiran-pemikiran. Kesempatan untuk
aktif mengambil bagian dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa ditengah
kompleksitas masalah yang dialami bumi pertiwi dewasa ini. Sudah waktunya kita
buktikan keberadaan kita sebagai anak bangsa. Sudah masanya kita wujudkan
harapan-harapan yang disandarkan dipundak kita. Sudah tidak zamannya lagi kita
berdiam diri dan hanya jadi penonton sandiwara kemunafikan oknum-oknum pembawa
kehancuran bangsa. Sudah tidak pantas kita hanya memikirkan bagaimana cara
memperoleh nilai tinggi tanpa mengamalkan ilmu dan tenaga kita bagi Indonesia
tercinta. Wahai mahasiswa, sudah saatnya kita berkontribusi demi bakti pada
bumi pertiwi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar